MIN CILENGA : Memotivasi anak untuk belajar
berbeda-beda menurut usianya. Di jenjang SD, usia ini dikelompokkan dalam dua
kategori, yaitu kelas rendah (kelas 1-3 SD) dan kelas atas (kelas 4-6 SD). memiliki
ciri khas yang berbeda.
KELAS 1-3 SD
Anak-anak di kelas bawah masih
menapaki masa transisi dari taman kanak-kanak yang aktivitas belajarnya
dilakukan sambil bermain ke jenjang sekolah dasar yang formal. Maksudnya,
mereka dituntut untuk banyak berada dalam dalam kelas dan duduk tenang
memperhatikan penjelasan guru serta mengerjakan tugas-tugas.
Tuntutan tersebut tentu saja
menyulitkan karena sebenarnya murid-murid kelas rendah masih dalam usia
bermain. Sayangnya, banyak orang tua, bahkan guru, melupakan ciri khas usia
ini. “Anak kelas 1-2 belum bisa diharapkan duduk lama karena rentang
perhatiannya maksimal sekitar 15 menit. Jadi mereka bukan nakal kalau enggak
bisa diam di kelas.”
Berkaitan dengan masa transisi
ini pula, seperti dituturkan Mila, orang tua mesti peka dengan kemungkinan
munculnya school phobia pada anak. Pahamilah bahwa perubahan-perubahan dari TK
ke SD sering membuat murid kelas rendah “ketakutan”.
Agar anak dapat melalui masa
transisinya dengan mulus, orang tua dapat membantu dengan memberikan motivasi
belajar yang pas menurut ciri khas anak usia kelas 1-3 SD atau kurang lebih 6-8
tahun. Inilah pokok-pokoknya:
Pada prinsipnya hampir sama
dengan cara belajar anak TK. Namun, untuk anak SD alihkan ke cara bermain yang
lebih konstruktif. “Tolong ambilkan Bunda 2 cokelat, dong. Nah, di tangan Bunda
sudah ada 1 cokelat. Bunda jadi punya berapa cokelat sekarang? Suasana belajar
pun tak perlu harus serius. Jadi tak selalu harus belajar di belakang meja,
bisa juga sambil tiduran di lantai, misalnya.
Sampai saat ini Pekerjaan Rumah
(PR) untuk murid kelas rendahmasih menjadi pro-kontra. Menurut Mila, selama
tidak berlebihan, sebenarnya PR banyak memberi manfaat. Salah satunya untuk
mengulang sedikit pelajaran yang sudah didapat anak di sekolah. Masalah timbul
kalau anak sering dijejali PR. Inilah yang sering menjadi beban bagi anak.
Dukungan memang selalu
diperlukan, terutama saat anak menghadapi masa-masa sulit di sekolah. Bentuknya
bisa sangat sederhana, misalnya ketika anak memperoleh nilai buruk, kita tidak
perlu menjatuhkan vonis bahwa ia bodoh atau pemalas.
Lebih baik, luangkan waktu untuk
mendiskusikan masalah tersebut dengan anak. “Sebagai awal, orang tua perlu
mencari tahu perasaan anak ketika memperoleh nilai 50. Apakah ia kecewa, sedih
atau biasa-biasa saja, karena jangan-jangan ia tidak mengerti bahwa nilai 50
itu berarti kurang.” Lalu tetaplah beri dukungan. “Untuk hari ini enggak
apa-apa dapat 50. Kamu bisa dapat nilai yang lebih baik di ulangan berikutnya,
tapi kamu harus belajar.”
Ini berarti orang tua jangan
sampai terlihat santai saat anak sedang belajar. “Misalnya, ketika sedang
mengerjakan PR anak melihat ibunya menonton televisi dan ayahnya tidur.
Bisa-bisa anak merasa diperlakukan tidak adil. ‘Ih, ayah, kok, bisa tidur
sedangkan aku harus belajar?" Akan lebih baik bila saat anak belajar,
orang tua juga tampak “belajar”, seperti menemani anak sambil membaca koran
atau buku. Dengan begitu anak akan mendapat panutan.
Misalnya, dari jam 5 sampai 7
disepakati sebagai jadwal belajar anak. Namun, jadwal harus dibuat dengan
mempertimbangkan jam sekolahnya. Berilah ia waktu untuk berisitirahat sebelum
waktu belajar. Saat waktunya belajar, anak harus diberi pengertian bahwa
rentang waktu itu harus diisi hanya untuk kegiatan belajar. Artinya ia tidak
nonton teve, tidak mendengarkan radio, atau tidak bermain playstation.
ANAK 4-6 SD
Anak-anak SD kelas atas
sebenarnya sudah diharapkan memiliki self learning regulation atau kesadaran
untuk belajar sendiri. Jika pada anak kelas 1-3 SD, orang tua masih sangat
terlibat dalam proses belajar anak, maka pada anak kelas 4-6 SD orang tua hanya
jadi pendamping saja. Mereka sudah harus tahu apa yang mesti dikerjakan.
Namun begitu, orang tua tetap
perlu menumbuhkan motivasi belajarnya agar tak kendur. Caranya, ingatlah bahwa
salah satu ciri anak usia ini adalah penggunaan logika yang sudah semakin
mendalam. Orang tua perlu memberikan alasan-alasan yang masuk akal tentang
pentingnya belajar. Berikut beberapa kiatnya:
1. Kaitkan dengan Hobinya
Kalau hobi anak adalah menonton
acara kuis di TV, orang tua bisa memberi komentar. “Dia bisa dapat menang
dandapat hadiah mobil karena pintar. Wah, pasti dari kecil dia sudah senang
belajar dan bisa mengatur waktu, deh!
2. Ajak untuk Membuat Jadwal
Pada usia ini biasanya anak mulai
memiliki banyak kegiatan. Ada latihan basket, renang, jalan-jalan dengan teman,
juga main games. Oleh karena itu, libatkan anak dalam pengaturan jadwal
kegiatannya. Jelaskan bahwa anak boleh memiliki kegiatan apa pun, tapi belajar
merupakan prioritas utama. Dengan diberi pengertian seperti itu dan dibiarkan
mengatur jadwal sendiri, ia tidak akan merasa terpaksa. Jangan lupa,
keterpaksaan hanya akan mengendurkan motivasi anak dalam belajar.
3. Rencanakan Masa Depan
Karena murid-murid kelas atas,
terutama kelas 5 dan 6 sudah akan memasuki sekolah lanjutan, orang tua perlu
mengajak anak untuk mengadakan rencana masa depan. “Kamu mau masuk SMP mana?
Kira-kira di situ NEM-nya berapa, ya? Yuk kita mulai kejar dari sekarang supaya
kamu bisa lolos ke sana!”
Namun, Mila mengingatkan agar
orang tua juga melihat kenyataan. Jika harapan anak terlalu tinggi, maka harus
didiskusikan. “Kalau orang tua melihat anak akan sulit masuk ke salah satu
sekolah favorit, ia perlu diajak mencari alternatif. ‘Kalau enggak keterima di
situ, kamu mau masuk sekolah mana lagi?’ Namun tentunya orang tua tetap
memotivasi anak untuk belajar lebih baik.”
Berdasarkan penelitian, anak-anak
yang berhasil ternyata memiliki pengaturan waktu yang baik, tertib mengikuti
jadwal, dan disiplin dalam belajar. Itu semua bisa didapat bila anak sudah
memiliki self learning regulation.
Namun ingat, selain memotivasi
anak untuk belajar, orang tua juga perlu memberinya waktu bermain. Jangan
sampai tujuh hari dalam seminggu diisi kegiatan belajar terus-menerus.
“Mentang-mentang Senin-nya masuk sekolah, Minggu pun diharuskan belajar. Lebih
baik gunakan hari libur sebagai playtime untuk menghindari kebosanan anak akan
belajar,” begitu Mila menekankan.
0 comments:
Post a Comment