PILAR-PILAR
PENGEMBANGAN MADRASAH
Oleh: Nur Kholis Setiawan
Direktur
Pendidikan Madrasah Direktorat Pendidikan Islam Kemenag RI
Madrasah
sebagai sebuah lembaga atau institusi yang luar biasa besar di Indonesia telah
melahirkan berbagai konsekuensi terutama bagi pengelolanya dalam hal ini
Direktorat Pendidikan Madrasah. Banyaknya program dan kegiatan akan banyak
menyita waktu dan tenaga bagi pengelolanya. Ini merupakan bagian dari
konsekuensi pengabdian seseorang yang diamanahi untuk mengawal sekaligus
memperbaiki madrasah.
Melihat
begitu banyaknyanya kegiatan dan program yang menyibukkan semua penyelenggara
dan berbagai pihak maka sudah saatnya profil anggaran itu bisa berorientasi
kepada manusia. Petunjuk Operasional Kegiatan (POK) di Ditpenma harus
berorientasi pada kemuanusiaan. Logikanya, dalam setiap kegiatan harus ada
tahap-tahap persiapan, pelaksaaan dan ada pelaporan. Yang disetiap tahap
tersebut harus mempertimbangkan sisi kesejahteraan pengelolanya.
Empat
Pilar dari Ibnu Hajar Al-Asqalani
Dalam
konteks sebagaimana di atas, saya teringat dengan kitab Fathul Bari karya Ibnu
Hajar Al-Asqalani. Kitab ini merupakan Syarah kitab Sahih al-Bukhori. Dalam
Muqaddimah Fahtul Barri, Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan: La budda
‘ala at-Thalib min ayyakuna lahu Kutubun Sihhah, Aqlun Rajjah, Asatizun
Mursyidah wa Bulghatun Mumkinah. Muqaddimah ini akan saya kaitkan
dengan signifikasi pengelolaan madrasa
Wajib bagi
seorang pelajar untuk memiliki empat syarat yang disebutkan Ibnu Hajar
Al-Asqalani, pertama adalah kutubun sihhah (Buku
rujukan yang bagus). Ini artinya anak-anak madrasah sesuai dengan usianya, MI,
MTs, MA harus mendapatkan buku rujukan yang sesuai dengan tingkat kebutuhan,
berorintasi pada pengembangan keilmuan. Dalam Usul Fikih, ada kaidah Ma
layatimmul wajib illa bihi fahuwa wajibun. Ketika belajar hukumnya
wajib, maka sarana pembelajaran menjadi wajib. Pemerintah wajib memberikan
fasilitas termasuk buku yang berkualitas.
Kedua, ‘Aqlun
rajjah, daya pikir yang lurus atau daya pikir yang berientasi pada
kreativitas. Direktorat Pendidikan Madrasah (Ditpenma) memiliki kegiatan atau
program Aksioma dan KSM yang mewadahi kreativitas siswa-siswi madrasah. Jadi
pengelola madrasah harus memiliki nawaitu yang lurus yakni
mendesiminasikan pikiran cerdas madrasah. Jangan sekali-kali cari untung.
Sayang sekali sudah capek-capek, pahalanya berkurang hanya karena mencari
keuntungan pribadi atau kelompok.
Ditpenma
harus bisa melahirkan generasi pemikir yang cerdas berieintasi masa depan,
mereka perlu dipancing dengan satu kegiatan yang sifatnya kompetitif, sehingga
mereka terbiasa dengan lingkungan kompetitivenesss. Kalau
dibudayakan begitu pasti nalar mereka akan berbeda. Model reward di
RA itu merupakan proses memancing dan membudayakan kompetitiveness.
Anak-anak ini—dalam telaah psikologis memiliki dorongan untuk lebih maju.
Mereka akan sangat terdorong ketika ada impetus harapan.
Saya tidak
pernah membayang bisa menjadi seperti sekarang ini. Sebagai anak kyai desa, di
lingkungan yang sangat terbatas ekonomi rasanya tidak mungkin saya menjadi
seperti ini. Dulu, ketika masih kecil, saya sering berjumpa dengan tamu ayah
saya yang datang dari jauh/ luar daerah. Ada satu situasi di masa kanak-kanak
ketika saya melihat figur yang memilik prestasi, kemudian saya mengindentikkan
agar bisa seperti mereka. Makanya ada doa Allahummaj’al mislahu.
Tapi sayang sekali anak-anak sekarang yang dilihat adalah tarian Korea, joget
dan lagu yang berorientasi pada seks. Nah, posisi kita adalah memberikan wacana
lain dalam hal mendorong prestasi. Yakni generasi yang petarung dan
kreatif.
Ketiga, Asatidu
mursyidah, guru-guru yang memberikan petunjuk. Saya tidak pernah
terpana pada model dan sistem pendidikan Barat. Kita lebih kaya dengan filosofi
Islam. Agar peserta didik tidak menjadi Kebarat-baratan, maka kita harus
mengubah cara mengajar dan paradigma pendidikan kita. Yang ditulis Ibnu Hajar
ini harus menjadi mindset pendidikan madrasah. Bagaimana menjadi guru yang
mencerahkan, guru yang menjadi icon, uswah bagi para siswa di madrasah. Kalau
misalnya guru perlu di-S2-kan, pasti kita akan buat skema untuk menyeklahkan
mereka ke S2, begitu juga yang ingin melanjutkan ke S3 dan berbagai macam pola
lain. Akhir tahun kita siapkan dana untuk plesir, memplesirkan
guru-guru ke luar negeri. Ini untuk memancing agar guru-guru mau berprestasi
hingga mereka menjadi icon bagi peserta didik.
Keempat, wabulgatun
mumkinatun, logistik yang memadai. Logikanya kuat, logistinya tidak ada,
maka tidak akan kemana-mana. Pengadaan Barang dan Jasa banyak jumlahnya, namun
dana BOS kurang. Kondisi ini juga menghambat proses belajar mengajar di
madrasah. Oleh sebab itu, semua perencanaan harus dibangun di atas idealitas
tersebut. Jika ada program yang tidak sesuai dengan dealitas tersebut, maka
harus segera direvisi. Statemen Ibnu Hajar di atas bisa menjadi bekal penting
dalam memperbaiki madrasah ke depan.
Pilar-pilar
dari Ibnu Athaillah
Direktorat
Pendidikan Madrasah (Ditpenma) memiliki banyak program dan kegiatan yang
dilingkupi dengan kompleksitas aturan-aturan keuangan. Konsekuensinya Ditpenma
memiliki jumlah dana yang besar namun waktunya sangat terbatas untuk
membelanjakan dana tersebut. Ada lima subdit dan satu tata usaha.
Sementara setiap hari harus melakukan kerja yang sama dengan pintu yang sama
pula. Sehingga tidak ada batas waktu TUP yang meniscayakan semua kegiatan harus
dilaksanakan. Saya cukup memahami kondisi tersebut. Hanya memang perlu ada
strategi, agar kekosongan-kesosongan yang ada di kantor itu tidak terjadi.
Dalam
konteks tersebut saya ingin menyitir kata-kata Ibnu Athaillah dalam kitab
al-Hikam. Ada satu kalimat yang mendalam terkait dengan hal di atas,
yakni ma shahibaka illa man shohibaka wahuwa biaidika aduwwun.
Artinya bukanlah seorang sahabat yang sejati kecuali ia kemudian menjadi
sahabat setelah mengetahui kekurangan sahabatnya itu.
Kalimat
tersebut muncul dalam konteks persahabatan atau persaudaraan. Saya akan menariknya
ke dalam konteks teamwork. Dalam teori friendship,
biasanya orang berteman karena ada kepentingan atau ada sesuatu. Kita mau
berteman karena orang tersebut memiliki kualitas tasurrun nadhirin,
karena ada beauty, layak dipandang. Ini biasa terjadi di dalam
kehidupan. Namun orang tidak mau berteman setelah mengetahui aib atau
kekurangan temannya. Tentu saja ini manusiawi. Termasuk juga ketika seseorang
akan berbisnis, berdagang dan berniaga.
Ibnu
Athaillah memperingatkan kita bahwa sahabat yang sejati yang kemudian menjadi
teman beneran setelah mengetahui kekurangan temannya tadi. Rapat kerja ini
agendanya membahas program bersama, merumuskan strategi bagaimana dalam waktu
yang terbatas itu serapan bisa dijalankan, serta menentukan indikator kinerja–sebagai
paradigma baru dalam auditing. Sekarang kegiatan bukan semata-sema hanya
difokuskan pada output, tidak sekadar melaksanakan, tetapi kemudian
mencoba untuk melihat sekaligus mendapatkan outcome, ada dimensi
yang berjangka pandang dan keseriusan tersendiri.
Kalau
mungkin selama ini para eksternal viewer yang cukup instens di Litbang,
mengenal Pendis itu luar biasa karena dananya banyak, nyebar kemana-mana. Yang
didengungkan itu nyebarnya, karena di mana-mana ada Pendis khususnya madrasah.
Kasubdit madrasah hampir tidak pernah di rumah karena banyaknya kegiatan. Jadi,
situasi yang terlihat yang nyebar tadi tentu tidak mudah kita jawab. Oleh sebab
itu, maka harus kita sebar kemanfaatannya. Ada dimensi kemanfaatan yang bisa
raih dan masuk dalam dimensi amal jariyah. Kita upayakan menciptakan suatu
suasana (enviroment) madrasah menjadi lembaga tujuan bukan alternatif
atau pilihan kedua dan seterusnya.
Oleh sebab
itu, ini menjadi konsen bersama. Bagaimana limited time ini
tidak menjadi kendala. Kita harus berpikir keras serta kreatif dalam melakukan
sofistikasi-sofistikasi administrasi serta saling membantu antar sesama bagian.
Ketika ada program koordinasi kesiswaan atau kelembagaan atau kurikulum
sertifikasi—saya menghitung ada 160 kegiatan untuk Ditpenma—itu belum
yang berperiode. Ini bisa kita bayangkan mulai efektif awal Juli kita harus
menyelesaikan pada akhir Novemer ini. Tentu akan sangat menguras
waktu.
Oleh sebab
itu, saya menyarankan kepada semua untuk mendahuluan prioritas. Dirjen sudah
menginstruksikan kepada para direktur untuk menyelesaikan program prioritas
yang sudah ada salah satunya adalah bantuan sosial sebanyak 425 milyar. Bantuan
Sosial kalau kita support dengan sistem informasi yang baik pasti akan
mempermudak kerja, meskipun tidak 100%. Kita bisa awali dengan melakukan
beberapa kali konsinyering dengan kasubdit. Kita akan padukan sehingga sistem
informasi ini yang akan mempermudah dan akan memberikan rambu-rambu. Sehingga
gangguang dalam mengelola bantuan sosial bisa diminimalisir. Jadi,
dengan prinsip prioritas ini, disela-sela kegiatan yang akan diselenggarakan
selama akhir bulan Juli, tentu disela-sela waktu yang masih ada
mekanis bantuan sosial ini bisa dikawal.
Untuk
persiapan 2014 saya sudah sampaikan argumentasi saya ke Dirjen, bahwa
masing-masing subdit perlu ada unit-unit pelaksana. Saya menghitung beban
subdit sudah sangat overload bila dilihat dari sdm yang ada. Di subdit pendidik
dan tenaga kependidikan banyak sekali tugas yang belum selesai diantaranya
adalah sertifikasi guru madrasah, angka kredit dan beban kerja lainnya yang
tidak mungkin hanya ditangani oleh lima belas orang. Begitu juga di
subdit-subdit lainnya.
Melihat
terbatasnya SDM dan banyaknya kegiatan, apakah mungkin kita bisa membantu atau
meningkatkan gengsi kompetensi sains madrasah? Saya juga akan
mencoba komunikasi dengan para saintis internasional. Ketika memupunyai
kegiatan AKSIOMA, KSM, BOS, BSM rasanya tidak mungkin hanya ditangani oleh 15
orang. Itu tidak akan menyelesaikan. Beban yang harus dibawa oleh para kasubdit
dan bawahannya begitu banyak.
Dalam
mengatasi hal ini, sekarang kita godong payung yurisprudensi, yakni PMA tentang
Penyelenggaran Madrasah. Kita sudah memiliki UPAN, UP3, Unit Pelaksana
Akreditasi Kelembagaan. Kalau kita sudah punya unit pelaksanaan, maka
logistiknya bisa digulirkan. Saya minta agar diagendakan untuk melihat dilihat
kemungkinan-kemungkinan pengadaan unit di subdirektorat.
Selain
itu, kerjasama-kerjasama dengan pihak asing atau lembaga pemerintah juga perlu
dibuka. Saya juga sudah melakukan pendekatan untuk membuka kemungkinan
kerjasama dengan AMINEF, yakni mencari relawan-relawan dari AMINEF untuk
mengajar di madrasah. Maka di subdit harus ada pelaksana yang in charge di
posisi tersebut.
Rasanya
harus ada analisis human resource dengan beban yang akan
ditanggungnya. Kalau sudah dianalisis dan ketahuan hasilnya bahwa kita
memerlukan banyak staf dan selanjutnya tinggal kita sinegikan saja. Maka hal
ini perlu diagendakan dalam sidang komisi.
Terkait
dengan dengan skala prioritas—saya melihat ke depan—ketika kita
mencoba berpikir out of the box. Madrasah adalah kontributor
terpinting bagi peradaban Islam nusantara. Saya belajar dari kegagalan sistem
pendidikan Islam yang dipegang oleh Menteri Pendidikan, Daud Yoesoef. Pada masa
beliau, perguruan tinggi negeri Islam tidak bisa menerima alumni pesantren.
Selain itu, yang masuk di PTAI itu adalah alumni yang tidak lulus di UGM, UI
dan perguruan tinggi lainnya, di mana calon mahasiswa tersebut banyak berasal
dari SMA/SMK.
Selama
madrasah yang memiliki kualitas yang bagus, maka alumninya tidak hanya masuk
PTAI, tetapi juga bisa masuk di PTN. Yang sekarang terjadi adalah siswa SMA/SMU
banyak tidak lulus masuk PTN sehingga mereka mendaftar ke IAIN. Mereka terpaksa
menerima itu. Ini tidak boleh terjadi di dalam sejarah Islam.
Maka
Kemenag menangani dari RA sampai Perguruan tinggi. Saya berpihak bahwa madrasah
memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk generasi terbaik Islam.
Geliat terbaru, siswa Insan Cendekia dalam hal sains mampu sejajar dengan
alumni perguruan tinggi dan luar negeri. Persoalan kemudian adalah bagaimana
dengan siswa madrasah yang meambil program yang bukan sains. Ini perlu kita
pikirkan. Kita sudah membahas PMA tentang Penyelenggaraan Madrasah dan akan
segera keluar. Keluarnya PMA akan membuka pintu yang sangat luas bahwa madrasah
untuk berkreasi, mungkin akan ada lagi seperti MAPK dan lain-lain. Ini yang
perlu kita dorong. regulasi juga harus diatur untuk memanyungi
madrasah.
Madrasah
menjadi penyumbang penting dalam pengembangan Islamic Higher Education. Oleh
sebab itu, kita sebagai insan yang memiliki prideness (kebanggaan)
tersendiri. Saya ingin sedikit cerita tentang negara Jerman. Di Jerman ada
institusi yang konsen untuk menciptakan guru agama Islam. Institusi tersebut
berada di bawah Fakultas Theology. Institusi ini dibackup habis-habisan oleh
negara. Pasca tragedi 11 September 2001, Islam tidak pernah di-reken di sekolah
baik oleh guru maupun pemerintah. Namun paska 11 September 2001, Islam
mulai diperdebatkan dan dipelajari. Statistik muslim semakin berkembang di
Eropa. Sedangkan orang Eropa tidak mau memiliki anak dengan berbagai alasan
seperti alasan hak, fisik dan medis. 85% bayi yang terlahir dari
rahim orang Eropa asli itu minimal autis. Mereka terbiasa mengkonsumsi alkohol
baik laki-laki maupun perempuannya. Itu berdampak pada kesehatan. Mereka paling
benci dengan anak. Sampai pemerintah itu memberikan tunjangan bagi yang mereka
mau melahirkan anak. Yang melahirkan dapat tunjakan 400 Euro atau sekitar 70
juta, belum santunan lainnya. Persoalan bukan karena uang, emansipasi, hak,
medis, dan gengsi.
Kondisi
tersebut kemudian dinikmati orang asing (imigran) yang muslim dari
Turki dan Timur Tengah. Mereka akan beranak pinak di sana. Coba banyakan, dalam
waktu 25 tahun terakhir, perbandingan angka kematian dan kelahiran adalah 1
banding 10. Komunitas muslim di Jerman ini mendapatkan perlakuan yang sama
seperti warga negara asli, karena mereka sudah memenuhi undang-undang
keimigrasian, meskipun pada awalnya praktinya berbeda. Konsekuensinya seluruh
sekolah-sekolah di Jerman diajarkan agama Islam. Banyak profesor muslim baik
muslim Jerman atau keturunann, tenaga edukasinyapun juga muslim. Institusi ini
hanya mampu melahirkan 200 guru pertahun. Padahal kebutuan pertahunnya adalah
10.000 guru. Betapa negara-negara yang dianggap maju dengan infrastruktur yang
tertata mewajibkan adanya pengajaran agama Islam di sekolah-sekolah umum.
Nah, kita
sudah melakukan melalui madrasah bahkan sebelum kemerdekaan. Saya sepakat
dengan para ilmuan sosial, bahwa dalam kontek percaturan peradaban, diprediksi
ke depan peradaban Islam nusantara menjadi salah satu penyangga peradaban Islam
dunia. Negara kita terdiri dari kepulauan dengan keargaman yang luar biaya.
Mayoritas beragama Islam. Sampai negaranya masih stabil. Masih masih bisa
menghargai keragaman. Ini yang terjadi di Indonesia di saat bangsa lain sudah
tidak bisa melakukannya.
Muslim
Indonesia ke depan akan menjadi penyangga peradaban Islam baru. Ini tidak akan
terjadi tanpa adanya institusi Islam seperti madrasah, pesantren dan
perguruan tinggi islam. Dengan bahasa yang ekstrim, tanpa adanya pendidikan
Islam mungkin Islam Indonesia tidak akan seperti ini. Pendidikan Islam
Indonesia telah berhasil mengajarkan siswanya untuk memisahkan antara Islam dan
Arab. Islam Indonesia adalah Islam subtanstif.
Saya
pernah menyindir teman-teman FPI. Dulu para Wali Songo itu sering mengislamkan
orang kafir, tapi FPI sekarang malah terbalik, mengkafirkan orang Islam. Nah,
ini menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga Islam. Madrasah kalau ditangani
dengan serius pada konten akademik, supporting environment, desain kurikulum
yang baik, maka saya yakin madrasah mampu menciptakan generasi yang lebih baik
daripada lembaga pendidikan pada umumnya.
Senafas
dengan definisi madrasah adalah lembaga pendidikan yang dikelola kemenag yang
bercirikan Islam, maka kata bercirikan Islam ini menjadi point of different dibanding
sekolah lain. Dulu, kalau sekolah pasti umum, dan madrasah adalah Islam. Namun
ketika madrasah dilembagakan menjadi sekolah yang bercirikan Islam, ini menjadi added
value tersendiri, maka ini menuntut perhatian dan kepedulian kita
untuk memperbaiki madrasah secara bertahap untuk generasi mendatang.
Pilar-pilar
dari Asy-Syaukani
Madrasah
juga harus senamas dengan tradisi keilmuan Islam yang ada. Saya akan kutip
tafsir Fathul Qadir karya As-Syaukani. Dalam muqaddimahnya beliau menyatakan: “Inna
garimal mufassirina tafarraqu fariqaini wa salaku ila thariqaini. Al-farikul
awwaalu tamassaku fi dhahiri ‘ala mujarradil riwayati. Wal fariqul
akhor: jarradu al dharabbi ma taqtahidi billughah.
As-Syaukani
memotret bahwa pada masa sebelumnya mufassir itu terbagi menjadi dua. Golongan pertama adalah
mufassir yang berpegang tegus pada riwayat.Kedua, adalah mufasir yang
berpegang teguh pada bahasa. As-Syaukani mengkritik keduanya, seharusnya
mufassir harus menggabungkan dua pegangan tersebut, riwayat dan bahasa. Tidak
bisa salah satu. Maka As-Syaukani merekomendasikan:Wal ashoh al-jam’u
bainahuma. Yang lebih baik adalah menggabungkan keduanya.
Pelajaran
yang bisa kita ambil dari statemen as-Syaukani adalah bahwa penghargaan
intelektualitas pendahulu kita merupakan keniscayaan. As-Syaukani telah
melakukan hal itu. Perkembangan intelektualitas akan terus berlanjut seiring
zaman dan tidak akan pernah berhenti. Proses apresiasi, kritik, dekonstruksi,
afirmasi, proses penambahan pasti terjadi dalam sejarah pemikiran Islam. Dan
as-Sayukani tidak puas dengan bertumpu/merujuk pada yang ada, namun ia
melakukan pengembangan yakni dengan melakukan menggabungan metode riwayah dan
bahasa.
Dalam
konteks madrasah, sudah saatnya kita tidak berhenti pada definisi madrasah adalah
sekolah yang dikelola Kemenag dengan bercirikan Islam. Definisi tersebut adalah
kontribusi pendahulu kita dan kita harus step forehead dari definisi tersebut
sebagai bentuk apresiasi terhadap apa yang dihasilkan oleh para pendahulu.
PMA
tentang Penyelenggaraan Madrasah menjadi payung induk madrasah. Dapat
dipastikan, kalau PMA ini tidak ada, pasti madrasah akan membebek ke
Kemendikbud. Nomenklatur madrasah akan tetap sama dengan nomenklatur sekolah di
Kemendikbud. PMA akan membuat pembeda. Ketika PMA sudah ada dan ditandatangai
maka akan memunculkan tanggung jawab serta kepedualian kita untuk bisa
mengoptimalkan serta mengembangkan madrasah sesuai dengan tantang zaman.
Kalau
boleh berandai-andai, sebenarnya madrasah ini tidak layak di bawah direktorat,
harusnya jadi Direktorat Jenderal.
Dengan
mengembangkan kekhasan ciri keislaman itu, maka madrasah tidak akan ketinggalan
dengan sekolah lainnya. Tentu ini meniscayakan perhatian dalam level yang
tinggi. Saya merencanakan menyusun naskah akademik pengembangan madrasah.
Oleh sebab
itu, kita bersama-sama coba berpikir ke depan jauh. Memang cukup melelahkan dan
mudah-mudahan ini menjadi refreshing penting. Raker ini bisa menjadi vitamin
tersendiri bagi kita. Mindset pola pikir yang perlu
diterapkan dalam mengelola madrasah ini adalah amal jariyah, bagaiman kita bisa
mendapatkan salah satu amal yang tidak berhenti. Kita selalu memohon. Apa yang
kita lakukan niatilah dengan amal jariayah yang didapatkan itu berkah, punya
pahala yang awet dan menyelamatkan kita. Bagaimana kemudian kita ke daerah lalu
bertugas, melaksanakan program kemudian berdiskusi, terkait dengan tender ada
hantu-hantu kecemasan, insyalllah itu akan meringankan. Dengan begitu kita akan
menjadi orang sehat. Kalau kerjanya menggurutu itu bisa cepet sakit. Kita
ciptakan suasana yang menyegarkan, sehat dan berorientasi pada masa depan.
Sehingga godaan bisa kita hindari. Closing-nya, prespektif bekerja
di Direktorat Pendidikan Madrasah adalah amal jariyah. Sekecil apapun yang kita
lakukan, niatilah sebagai amal jariyah.
Pilar-pilar
dari Confusianis, Abu Lais As-Samarqandi dan Tajuddin As-Subkhi
Fungsi
manajemen sangat penting dalam pengelolaan madrasah. Belum adanya keselarasan
antara Pusat dan Daerah dalam mendesign mendesign program dan pengalokasian
anggaran merupakan bukti kurang baiknya manajemen Pusat-Daerah. antara
Direktorat Madrasah dan Kabid di Provinsi-provinsi. Kita telah mencaba membikin
matrik pusat-daerah. Pasti nanti akan kelihatan sangat jomplang.
Ini sebuah
kenyataan dan ini merupakan indikator agar kita harus terus memperbaiki bukan
mempermasalahkan. Confusianisme mengatakan to make a mistake and not
correct it is a real mistake. Salah itu manusiawi. Meskipun begitu, apa
yang belum sinkron, mohon disinkronkan. Jadi, kegiatan evaluasi ini sangat
penting. Kita seharusnya tidak berhenti pada kekuarang namun juga harus
melanjutkan merumuskan strategi-strategi agar kekurangan tersebut tidak
berulang lagi.
Saya
teringat dengan karya Abu Lais As-Samarqandi yang berjudul Bustanul ‘Arifin.
Dalam karya tersebut, beliau mengatakan Qayyidu al-‘Ilma bil Kitab.
Yang artinya ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Jadi untuk mengembangkan
sesuatu kita harus menuliskannya. Ketika tadi kita bedah program 2013, kita
temukan banyak kekuarangannya. Kekurangan tersebut harus kia dokumentasikan
(baca:tuliskan) sebagai basis dalam penyusunan program-program tahun depan.
Semua
harus di atur dengan baik sebagai usaha perbaikan manajemen dan sistem.
Kegiatan evaluasi ini menurut saya sangat islami. Dalam kitab Jam’u al-Jawami’
karya Tajudin As-Subkhi disebutkan bahwa ma tsabata bi as-Syar’i
muqaddamun ‘ala ma tsabata bi as-Syarthi. Syarat untuk menuju
syar’i harus dipenuhi terlebih dahulu dan ia juga menjadi wajib.
Agar madrasah mendapatkan akreditasi yang
baik maka piranti-piranti menuju akreditasi juga wajib dipenuhi. Untuk menyusun
program-program yang lebih baik lagi ke depan, piranti-piranti seperti evaluasi
dan pendokumentasian kekuaran-kekurangan dalam menjalankan program sekarang
sebagai basis penyusunan program ke depan juga menjadi wajib. Jadi evaluasi ini
menjadi sangat Islami sebetulnya. Paling tidak kita harus bisa memenuhi fungsi
manajemen yakni how to plan, how to implement and how to
report. Planing harus berbasis evaluasi. Tujuannya
menyempurnakan yang masih kurang. Tiga hal tersebut harus kita temukan terus
menerus dalam setiap kegiatan di madrasah.
0 comments:
Post a Comment