A. Arti
Madrasah
Kata
"madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata "keterangan
tempat" dari akar kata
"darasa". Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai
"tempat belajar para pelajar",atau "tempat untuk memberikan
pelajaran".
Jika
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah" memiliki
arti "sekolah" kendati pada mulanya kata "sekolah" itu
sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu
school atau sekolah.
Sungguhpun
secara teknis, yakni dalam proses belajar-mengajarnya secara formal,
madrasah tidak berbeda
dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas dipahami
sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni
"Sekolah Agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh
pembelajaran tentang seluk-beluk agama dan keagamaan Islam.
Madrasah dan
sekolah islam saat ini, dari segi substansi sama saja, karena masing-masing
mengajarkan agama dan bahasa arab, sedangkan kurikulum lain mengikuti standar
nasional yang di tetapkan Badan Nasional Standar Pendidikan.
Dalam
prakteknya memang ada madrasah yang di samping mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan
, juga mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selain itu
ada madrasah yang hanya mengkhususkan diri pada pelajaran ilmu-ilmu agama, yang
biasa disebut Madrasah Diniyyah. Kenyataan bahwa kata "madrasah"
berasal dari bahasa Arab, dan tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
menyebabkan masyarakat lebih memahami "madrasah" sebagai lembaga
pendidikan Islam, yakni "tempat untuk belajar agama" atau
"tempat untuk memberikan pelajaran agama dan keagamaan".
B. Karakteristik Madrasah
Madrasah
memiliki kurikulum, metode dan cara mengajar sendiri yang berbeda dengan
sekolah. Madrasah memiliki karakter tersendiri, yaitu sangat menonjolkan nilai
religiusitas masyarakatnya. Sementara itu sekolah merupakan lembaga pendidikan
umum dengan pelajaran universal dan terpengaruh iklim pencerahan Barat.
Perbedaan
karakter antara madrasah dengan sekolah itu dipengaruhi oleh perbedaan tujuan
antara keduanya secara historis. Tujuan dari pendirian madrasah ketika untuk
pertama kalinya diadopsi di Indonesia ialah untuk mentransmisikan nilai-nilai Islam, selain
untuk memenuhi kebutuhan modernisasi pendidikan, sebagai jawaban atau respon
dalam menghadapi kolonialisme dan Kristen, disamping untuk mencegah memudarnya
semangat keagamaan penduduk akibat meluasnya lembaga pendidikan Belanda
itu. Sekolah untuk pertama kalinya
diperkenalkan oleh pemerintah Belanda pada sekitar dasawarsa 1870-an bertujuan
untuk menyiapkan calon pegawai pemerintah kolonial, dengan maksud untuk
melestarikan penjajahan. Dalam lembaga pendidikan yang didirikan Kolonial
Belanda itu, tidak diberikan pelajaran agama sama sekali. Karena itu tidak
heran jika di kalangan kaum pribumi, khususnya di Jawa, ketika itu muncul
resistensi yang kuat terhadap sekolah, yang mereka pandang sebagai bagian
integral dari rencana pemerintah kolonial Belanda untuk
"membelandakan" anak-anak mereka.
C. Perkembangan Madrasah
Madrasah
seperti kebanyakan lembaga modern lainnya, masuk pada sistem pendidikan di
Indonesia pada awal abad ke-20, ini dimaksudkan sebagai upaya menggabungkan
hal-hal yang positif dari pendidikan pesantren dan sekolah itu. Lembaga
pendidikan madrasah ini secara berangsur-angsur diterima sebagai salah satu
institusi pendidikan Islam yang juga berperan dalam perkembangan peningkatan
mutu pendidikan di Indonesia.
Madrasah di
Indonesia merujuk pada pendidikan dasar sampai menengah, sementara pada masa
klasik Islam madrasah merujuk pada lembaga pendidikan tinggi. Perbedaan
tersebut pada gilirannya bukan hanya merupakan masalah perbedaan definisi, tapi
juga menunjukkan perbedaan karakteristik antara keduanya. Merujuk pada
penjelasan Nakosteen, motif pendirian madrasah pada masa klasik Islam ialah
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan umum (sekuler),yang
dianggap kurang memadai jika dilakukan di dalam masjid, sebab masjid merupakan
tempat ibadah.
Azyumardi
Azra, madrasah sebagai lembaga pendidikan tinggi ini tidak bisa disamakan
artinya dengan universitas dalam arti lembaga pendidikan tinggi yang
mengembangkan penyelidikan bebas berdasarkan nalar. Dalam tradisi pendidikan
Islam, lembaga pendidikan tinggi lebih
dikenal dengan nama al-jami'ah, yang
secara historis dankelembagaan berkaitan dengan masjid jami'masjid
besar tempat berkumpul jama'ah untuk menunaikan shalat Jum'at.
Namun, upaya
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan umum itu di madrasah sejak
awal perkembangannya telah mengalami kegagalan. Sebab, penekanan pada ilmu-ilmu
agama (al-'ulum al-dmiyyah) terutama pada bidang fikih, tafsir, dan hadits,
ternyata lebih dominan, sehingga ilmu-ilmu non-agama khususnya ilmu-ilmu alam
dan eksakta, tetap berada dalam posisi pinggiran atau marjinal. Hal itu berbeda
dengan madrasah di Indonesia yang sejak awal pertumbuhannya telah dengan sadar
menjatuhkan pilihan pada:
1. Madrasah yang didirikan sebagai lembaga
pendidikan yang semata-mata untuk mendalami agama (li tafaqquh fiddin), yang
biasa disebut Madrasah Diniyah Salafiyah
2. Madrasah yang didirikan tidak hanya untuk
mengajarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam, tapi juga memasukkan
pelajaran-pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan
pemerintah Hindia Belanda, seperti Madrasah Adabiyah di Sumatera Barat, dan
madrasah yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan PUI di
Majalengka.
Dari
keterangan di atas menarik untuk dicatat bahwa salah satu karakteristik
madrasah yang cukup penting di Indonesia pada awal pertumbuhannya ialah bahwa
didalamnya tidak ada konflik atau upaya mempertentangkan ilmu-ilmu agama dengan
ilmu-ilmu umum.
Madrasah di
Indonesia secara historis juga memiliki karakter yang sangat populis
(merakyat), berbeda dengan madrasah pada masa klasik Islam. Sebagai lembaga
pendidikan tinggi madrasah pada masa klasik Islam terlahir sebagai gejala urban
atau kota. Madrasah pertama kali didirikan oleh Dinasti Samaniyah (204-395
H/819-1005 M)di Naisapur kota yang kemudian dikenal sebagai daerah kelahiran
madrasah. Madrasah dipahami sebagai lembaga pendidikan Islam yang berada di
bawah Sistem Pendidikan Nasional dan berada di bawah pembinaan Departemen
Agama.
D. Perkembangan Madrasah Pada Masa Pra Kemerdekaan
Pada era
kolonialis Belanda, perkembangan madrasah dimulai dari semangat reformasi yang
dilakukan masyarakat Muslim. Ada dua faktor penting yang melatar belakangi
kemunculan madrasah. Pertama, adanya pandangan yang mengatakan bahwa sistem
pendidikan Islam tradisional dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis
masyarakat. Kedua, adanya kekhawatiran atas kecepatan perkembangan persekolahan
Belanda yang akan menimbulkan pemikiran sekuler di masyarakat. Untuk
menyeimbangkan perkembangan sekulerisme, para reformis kemudian memasukkan
pendidikan Islam dalam persekolahan melalui pembangunan madrasah.
Pemerintah
kolonial, ketika itu sangat khawatir madrasah akan melahirkan generasi yang
menjadi penentang kekuasaannya. Tidak heran kalau kebijakan yang dikeluarkan
pemerintahan kolonial, merupa-kan bagian dari usahanya untuk mengkooptasi
madrasah. Misalnya, guru madrasah wajib mempunyai izin dari penguasa, dan di
bidang kurikulum, pelajaran yang diajarkan harus dilaporkan pada penguasa minta
persetujuannya. Kebijakan pembatasan yang dilakukan pemerintah kolonial
tersebut tentunya mendapat reaksi dari kalangan Muslim. Paling tidak ada tiga
reaksi, yaitu bertahan, menolak, dan progresif. Kelompok yang ber-tahan
kemudian membuat madrasah secara sembunyi-sembunyi di daerah yang jauh dari
jangkauan penguasa. Kelompok progresif bersikap lunak pada pemerintah kolonial
dan mengikuti aturan mainnya. Di bawah tekanan dan pengawasan ketat dari
pemerintahan kolonial, madrasah ternyata mampu memantapkan eksistensinya di
Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Perkembangan itu akan lebih maju lagi terutama
di daerah-daerah pelosok yang jauh dari pengawasan penguasa.
E. Perkembangan Madrasah Pada Masa Orde Lama
Mempelajari
perkembangan madrasah terkait erat dengan peran Departemen Agama sebagai
andalan politis yang dapat mengangkat posisi madrasah sehingga memperoleh
perhatian yang terus menerus dari kalangan pengambil kebijakan.Tentunya, tidak
juga melupakan usaha-usaha keras yang sudah dirintis oleh sejumlahtokoh seperti
Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari dan Mahmud Yunus. Dalam hal ini, Departemen Agama
secara lebih tajam mengembangkan program-program perluasan dan peningkatan mutu
madrasah. Madrasah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan diakui oleh negara
secara formal pada tahun 1950. Undang-Undang No. 4 1950 tentang dasar-dasar
Pendidikan dan Pengajaran di sekolah pasal 10 menyatakan bahwa belajar di
sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Departemen Agama, sudah dianggap
memenuhi kewajiban belajar. Untuk mendapat pengakuan dari Departemen Agama,
madrasah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit
enam jam seminggu secara teratur disamping mata pelajaran umum.
Jenjang pendidikan dalam system
madrasah terdiri dari tiga jenjang, yaitu :
1.
Madrasah Ibtidaiyah dengan lama pendidikan 6
tahun.
2.
Madrasah Tsanawiyah Pertama untuk 4 tahun.
3.
Madrasah Tsanawiyah Atas untuk 4 tahun.
Sedangkan
kurikulum yang diselenggarakan terdiri dari sepertiga pelajaran agama dan
sisanya pelajaran umum. Perkembangan madrasah yang cukup penting pada masa Orde
Lama adalah berdirinya madrasah Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan
Hakim Islam Negeri (PHIN).
Tujuan
pendiriannya untuk mencetak tenaga-tenaga profesional yang siap mengembangkan
madrasah sekaligus ahli keagamaan yang profesional.
PGA pada
dasarnya telah ada sejak masa sebelum kemerdekaan. Khususnya di wilayah Minangkabau,
tetapi pendiriannya oleh Departemen Agama menjadi jaminan strategis bagi
kelanjutan madrasah di Indonesia. Pada pendidikan tingkat lanjutan pertama atau
Madrasah Tsanawiyah (MTs) terdapat 776 madrasah dengan 87.932 siswa. Sedangkan
di tingkat berikutnya atau MadrasahAliyah (MA) terdapat 16 madrasah dengan
1.881 siswa. Jumlah peserta pendidikan ini merupakan angka yang luar biasa bagi
sejarah pendidikan di Indonesia. Di tahun 1966, pemerintah mengizinkan madrasah
swasta berubah statusnya menjadi madrasah negeri. Alhasil, ada 123 MI, 182 MTs,
dan 42 MA yang menjadi madrasah negeri. Konsekuensi, manajemen madrasah secara
total bergeser dari masyarakat kepemerintah. Meskipun demikian, sekitar 90
persen madrasah masih dikelola masyarakat setempat dengan bentuk yayasan.
F. Perkembangan Madrasah pada Masa Orde Baru
Sejak awal
pemerintahan Orde Baru (1966), Indonesia mengembangkan dua sistem pendidikan,
yaitu pendidikan umum dan keagamaan. Menurut Dr Fasli Jalal dalam tulisannya
yang berjudul “Partnership Between Government and Religious Groups”. The Role
of Madrasah in Basic Education in Indonesia, dualisme sistem pendidikan ini
sebenarnya produk dari masa kolonialis Belanda. Sistem pendidikan ini pula yang
melahirkan dua dasar politik utama, yaitu kekuatan Islam dan nasionalisme. Pada
perkembangannya, Pemerintah Indonesia berusaha menyatukannya dalam satu
ideologi Pancasila.
Pada awal
pemerintahan Orde Baru, pendekatan legal formal yang dijalankannya tidak
memberikan dukungan pada madrasah. Tahun 1972 Presiden Suharto mengeluarkan
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1972 dan Instruksi Presiden
(Inpres) Nomor15 Tahun 1974 yang mengatur madrasah di bawah pengelolaan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)-sebelumnya, dikelola Menteri Agama. Reaksi
yang muncul di kalangan muslim sangat keras. Kebijakan itu dinilai sebagai
usaha sekulerisme dan menghilangkan madrasah dari sistem pendidikan di
Indonesia. Untuk menenangkan reaksi tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan
keputusan bersama antara Mendikbud, Menteri Agama (Menag), dan Menteri Dalam
Negeri (Mendagri).
Isinya,
mengembalikan status pengelolaan madrasah di bawah Menteri Agama, tetapi harus
memasukkan kurikulum umum yang sudah ditentukan pemerintah. Muchtar menilai,
kurikulum yang diterapkan ini bersifat sentralistik. Akibatnya, segenap
variabilitas yang lahir dari budaya lokal diabaikan. Otoritas pendidikan juga
mengabaikan berbagai persepsi serta preferensi yang hidup di luar dirinya.
Tidak heran kalau masyarakat sebagai bagian dari komunitas pendidikan makin
lama semakin menghilang.............
0 comments:
Post a Comment