Sunday, April 13, 2014

Posted by MINSATAS On 1:34 AM
A.   Arti Madrasah
Kata "madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata "keterangan tempat"  dari akar kata "darasa". Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat belajar para pelajar",atau "tempat untuk memberikan pelajaran".

Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah" memiliki arti "sekolah" kendati pada mulanya kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau sekolah.

Sungguhpun secara teknis, yakni dalam proses belajar-mengajarnya secara formal, madrasah  tidak  berbeda  dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni "Sekolah Agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran tentang seluk-beluk agama dan keagamaan Islam.

Madrasah dan sekolah islam saat ini, dari segi substansi sama saja, karena masing-masing mengajarkan agama dan bahasa arab, sedangkan kurikulum lain mengikuti standar nasional yang di tetapkan Badan Nasional Standar Pendidikan.

Dalam prakteknya memang ada madrasah yang di samping mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan , juga mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selain itu ada madrasah yang hanya mengkhususkan diri pada pelajaran ilmu-ilmu agama, yang biasa disebut Madrasah Diniyyah. Kenyataan bahwa kata "madrasah" berasal dari bahasa Arab, dan tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menyebabkan masyarakat lebih memahami "madrasah" sebagai lembaga pendidikan Islam, yakni "tempat untuk belajar agama" atau "tempat untuk memberikan pelajaran agama dan keagamaan".

B.   Karakteristik Madrasah
Madrasah memiliki kurikulum, metode dan cara mengajar sendiri yang berbeda dengan sekolah. Madrasah memiliki karakter tersendiri, yaitu sangat menonjolkan nilai religiusitas masyarakatnya. Sementara itu sekolah merupakan lembaga pendidikan umum dengan pelajaran universal dan terpengaruh iklim pencerahan Barat.

Perbedaan karakter antara madrasah dengan sekolah itu dipengaruhi oleh perbedaan tujuan antara keduanya secara historis. Tujuan dari pendirian madrasah ketika untuk pertama kalinya diadopsi di Indonesia ialah untuk  mentransmisikan nilai-nilai Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan modernisasi pendidikan, sebagai jawaban atau respon dalam menghadapi kolonialisme dan Kristen, disamping untuk mencegah memudarnya semangat keagamaan penduduk akibat meluasnya lembaga pendidikan Belanda itu.  Sekolah untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh pemerintah Belanda pada sekitar dasawarsa 1870-an bertujuan untuk menyiapkan calon pegawai pemerintah kolonial, dengan maksud untuk melestarikan penjajahan. Dalam lembaga pendidikan yang didirikan Kolonial Belanda itu, tidak diberikan pelajaran agama sama sekali. Karena itu tidak heran jika di kalangan kaum pribumi, khususnya di Jawa, ketika itu muncul resistensi yang kuat terhadap sekolah, yang mereka pandang sebagai bagian integral dari rencana pemerintah kolonial Belanda untuk "membelandakan" anak-anak mereka.

C.   Perkembangan Madrasah
Madrasah seperti kebanyakan lembaga modern lainnya, masuk pada sistem pendidikan di Indonesia pada awal abad ke-20, ini dimaksudkan sebagai upaya menggabungkan hal-hal yang positif dari pendidikan pesantren dan sekolah itu. Lembaga pendidikan madrasah ini secara berangsur-angsur diterima sebagai salah satu institusi pendidikan Islam yang juga berperan dalam perkembangan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.

Madrasah di Indonesia merujuk pada pendidikan dasar sampai menengah, sementara pada masa klasik Islam madrasah merujuk pada lembaga pendidikan tinggi. Perbedaan tersebut pada gilirannya bukan hanya merupakan masalah perbedaan definisi, tapi juga menunjukkan perbedaan karakteristik antara keduanya. Merujuk pada penjelasan Nakosteen, motif pendirian madrasah pada masa klasik Islam ialah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan umum (sekuler),yang dianggap kurang memadai jika dilakukan di dalam masjid, sebab masjid merupakan tempat ibadah.

Azyumardi Azra, madrasah sebagai lembaga pendidikan tinggi ini tidak bisa disamakan artinya dengan universitas dalam arti lembaga pendidikan tinggi yang mengembangkan penyelidikan bebas berdasarkan nalar. Dalam tradisi pendidikan Islam, lembaga  pendidikan tinggi lebih dikenal dengan  nama al-jami'ah, yang secara historis dankelembagaan berkaitan dengan masjid jami'masjid besar tempat berkumpul jama'ah untuk menunaikan shalat Jum'at.

Namun, upaya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan umum itu di madrasah sejak awal perkembangannya telah mengalami kegagalan. Sebab, penekanan pada ilmu-ilmu agama (al-'ulum al-dmiyyah) terutama pada bidang fikih, tafsir, dan hadits, ternyata lebih dominan, sehingga ilmu-ilmu non-agama khususnya ilmu-ilmu alam dan eksakta, tetap berada dalam posisi pinggiran atau marjinal. Hal itu berbeda dengan madrasah di Indonesia yang sejak awal pertumbuhannya telah dengan sadar menjatuhkan pilihan pada:
1.       Madrasah yang didirikan sebagai lembaga pendidikan yang semata-mata untuk mendalami agama (li tafaqquh fiddin), yang biasa disebut Madrasah Diniyah Salafiyah
2.        Madrasah yang didirikan tidak hanya untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam, tapi juga memasukkan pelajaran-pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah Hindia Belanda, seperti Madrasah Adabiyah di Sumatera Barat, dan madrasah yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan PUI di Majalengka.

Dari keterangan di atas menarik untuk dicatat bahwa salah satu karakteristik madrasah yang cukup penting di Indonesia pada awal pertumbuhannya ialah bahwa didalamnya tidak ada konflik atau upaya mempertentangkan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum.

Madrasah di Indonesia secara historis juga memiliki karakter yang sangat populis (merakyat), berbeda dengan madrasah pada masa klasik Islam. Sebagai lembaga pendidikan tinggi madrasah pada masa klasik Islam terlahir sebagai gejala urban atau kota. Madrasah pertama kali didirikan oleh Dinasti Samaniyah (204-395 H/819-1005 M)di Naisapur kota yang kemudian dikenal sebagai daerah kelahiran madrasah. Madrasah dipahami sebagai lembaga pendidikan Islam yang berada di bawah Sistem Pendidikan Nasional dan berada di bawah pembinaan Departemen Agama.

D.   Perkembangan Madrasah Pada Masa Pra Kemerdekaan
Pada era kolonialis Belanda, perkembangan madrasah dimulai dari semangat reformasi yang dilakukan masyarakat Muslim. Ada dua faktor penting yang melatar belakangi kemunculan madrasah. Pertama, adanya pandangan yang mengatakan bahwa sistem pendidikan Islam tradisional dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Kedua, adanya kekhawatiran atas kecepatan perkembangan persekolahan Belanda yang akan menimbulkan pemikiran sekuler di masyarakat. Untuk menyeimbangkan perkembangan sekulerisme, para reformis kemudian memasukkan pendidikan Islam dalam persekolahan melalui pembangunan madrasah. 

Pemerintah kolonial, ketika itu sangat khawatir madrasah akan melahirkan generasi yang menjadi penentang kekuasaannya. Tidak heran kalau kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan kolonial, merupa-kan bagian dari usahanya untuk mengkooptasi madrasah. Misalnya, guru madrasah wajib mempunyai izin dari penguasa, dan di bidang kurikulum, pelajaran yang diajarkan harus dilaporkan pada penguasa minta persetujuannya. Kebijakan pembatasan yang dilakukan pemerintah kolonial tersebut tentunya mendapat reaksi dari kalangan Muslim. Paling tidak ada tiga reaksi, yaitu bertahan, menolak, dan progresif. Kelompok yang ber-tahan kemudian membuat madrasah secara sembunyi-sembunyi di daerah yang jauh dari jangkauan penguasa. Kelompok progresif bersikap lunak pada pemerintah kolonial dan mengikuti aturan mainnya. Di bawah tekanan dan pengawasan ketat dari pemerintahan kolonial, madrasah ternyata mampu memantapkan eksistensinya di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Perkembangan itu akan lebih maju lagi terutama di daerah-daerah pelosok yang jauh dari pengawasan penguasa.

E.   Perkembangan Madrasah Pada Masa Orde Lama
Mempelajari perkembangan madrasah terkait erat dengan peran Departemen Agama sebagai andalan politis yang dapat mengangkat posisi madrasah sehingga memperoleh perhatian yang terus menerus dari kalangan pengambil kebijakan.Tentunya, tidak juga melupakan usaha-usaha keras yang sudah dirintis oleh sejumlahtokoh seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari dan Mahmud Yunus. Dalam hal ini, Departemen Agama secara lebih tajam mengembangkan program-program perluasan dan peningkatan mutu madrasah. Madrasah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan diakui oleh negara secara formal pada tahun 1950. Undang-Undang No. 4 1950 tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah pasal 10 menyatakan bahwa belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Departemen Agama, sudah dianggap memenuhi kewajiban belajar. Untuk mendapat pengakuan dari Departemen Agama, madrasah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit enam jam seminggu secara teratur disamping mata pelajaran umum.
Jenjang pendidikan dalam system madrasah terdiri dari tiga jenjang, yaitu :
1.         Madrasah Ibtidaiyah dengan lama pendidikan 6 tahun.
2.         Madrasah Tsanawiyah Pertama untuk 4 tahun.
3.         Madrasah Tsanawiyah Atas untuk 4 tahun.

Sedangkan kurikulum yang diselenggarakan terdiri dari sepertiga pelajaran agama dan sisanya pelajaran umum. Perkembangan madrasah yang cukup penting pada masa Orde Lama adalah berdirinya madrasah Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN).

Tujuan pendiriannya untuk mencetak tenaga-tenaga profesional yang siap mengembangkan madrasah sekaligus ahli keagamaan yang profesional.

PGA pada dasarnya telah ada sejak masa sebelum kemerdekaan. Khususnya di wilayah Minangkabau, tetapi pendiriannya oleh Departemen Agama menjadi jaminan strategis bagi kelanjutan madrasah di Indonesia. Pada pendidikan tingkat lanjutan pertama atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) terdapat 776 madrasah dengan 87.932 siswa. Sedangkan di tingkat berikutnya atau MadrasahAliyah (MA) terdapat 16 madrasah dengan 1.881 siswa. Jumlah peserta pendidikan ini merupakan angka yang luar biasa bagi sejarah pendidikan di Indonesia. Di tahun 1966, pemerintah mengizinkan madrasah swasta berubah statusnya menjadi madrasah negeri. Alhasil, ada 123 MI, 182 MTs, dan 42 MA yang menjadi madrasah negeri. Konsekuensi, manajemen madrasah secara total bergeser dari masyarakat kepemerintah. Meskipun demikian, sekitar 90 persen madrasah masih dikelola masyarakat setempat dengan bentuk yayasan.

F.    Perkembangan Madrasah pada Masa Orde Baru
Sejak awal pemerintahan Orde Baru (1966), Indonesia mengembangkan dua sistem pendidikan, yaitu pendidikan umum dan keagamaan. Menurut Dr Fasli Jalal dalam tulisannya yang berjudul “Partnership Between Government and Religious Groups”. The Role of Madrasah in Basic Education in Indonesia, dualisme sistem pendidikan ini sebenarnya produk dari masa kolonialis Belanda. Sistem pendidikan ini pula yang melahirkan dua dasar politik utama, yaitu kekuatan Islam dan nasionalisme. Pada perkembangannya, Pemerintah Indonesia berusaha menyatukannya dalam satu ideologi Pancasila.

Pada awal pemerintahan Orde Baru, pendekatan legal formal yang dijalankannya tidak memberikan dukungan pada madrasah. Tahun 1972 Presiden Suharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1972 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor15 Tahun 1974 yang mengatur madrasah di bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)-sebelumnya, dikelola Menteri Agama. Reaksi yang muncul di kalangan muslim sangat keras. Kebijakan itu dinilai sebagai usaha sekulerisme dan menghilangkan madrasah dari sistem pendidikan di Indonesia. Untuk menenangkan reaksi tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan keputusan bersama antara Mendikbud, Menteri Agama (Menag), dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Isinya, mengembalikan status pengelolaan madrasah di bawah Menteri Agama, tetapi harus memasukkan kurikulum umum yang sudah ditentukan pemerintah. Muchtar menilai, kurikulum yang diterapkan ini bersifat sentralistik. Akibatnya, segenap variabilitas yang lahir dari budaya lokal diabaikan. Otoritas pendidikan juga mengabaikan berbagai persepsi serta preferensi yang hidup di luar dirinya. Tidak heran kalau masyarakat sebagai bagian dari komunitas pendidikan makin lama semakin menghilang.............


0 comments: